Kecerdasan itu tetap atau dapat dikembangkan ?


Pertanyaan yang penuh intrik. Apakah kecerdasan itu tetap atau dapat dikembangkan ? Mengutip buku “What The Dog Saw”,

Carol Dweck ahli psikologi di Columbia University telah mendapati bahwa orang biasanya memegang satu dari dua kepercayaan yang lumayan kuat mengenai kecerdasan: entah kecerdasan dianggap tetap, atau bisa dibentuk dan dikembangkan. (Gladwell, 2009)

Yang menarik dari dua cara pandang tersebut bukanlah mengenai cara pandang mana yang benar, melainkan perbedaan perilaku orang-orang percaya bahwa kecerdasan itu tetap vs perilaku orang-orang yang menganggap kecerdasan itu dapat dikembangkan. Dweck beserta kolega-koleganya mengamati sekelompok mahasiswa Universitas Hongkong (salah satu universitas yang sangat kompetitif) yang menjalankan kuliah dalam bahasa Inggris. (Bahasa utama Hongkong adalah “bukan” bahasa Inggris). Dweck memberitahu mereka nilai kemampuan bahasa inggris mereka dan bertanya apakah mereka mau ikut kursus untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Hasilnya… Hanya orang-orang yang percaya bahwa kecerdasan dapat dibentuklah yang tertarik mengikuti kursus bahasa Inggris. Sementara para mahasiswa yang percaya bahwa kecerdasan itu tetap “sangat takut” terlihat tidak mampu, sehingga memilih tidak ikut kursus. “Mahasiswa yang memandang kecerdasan mereka tidak bisa berubah, sangat memedulikan untuk tetap bisa tampil cerdas, akibatnya mereka malah bertindak bodoh”, kata Dweck. (Gladwell, 2009). Hal ini juga diungkapkan kolega saya dalam tulisan beliau, bahwa persepsi anda menentukan sikap anda.

Menarik sekali temuan ini. Mungkin kita perlu lakukan sebuah tes yang sama untuk melihat korelasi “kepercayaan” mahasiswa terhadap kecerdasan, dengan prestasi mereka di perkuliahan. Karena sudah banyak penelitian terdahulu yang membuktikan korelasi pada skala 0,1 (hampir tidak ada pengaruhnya) antara IQ (kecerdasan terukur) terhadap prestasi sesorang.

Mengutip Richard Wagner, ahli psikologi Florida State University, ” Yang tidak ditangkap nilai IQ adalah keefektifan dalam hal sehari-hari, terutama kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Di sekolah, semuanya dikerjakan sendiri. Kalau bekerja sama dengan orang lain, itu namanya menyontek. Tapi di dunia nyata, semua dikerjakan bersama orang lain.” ……………… Jadi bagaimana ini ??? Berarti mekanisme pendidikan saat ini menyiapkan orang untuk tidak efektif bekerja saat di dunia nyata ??? Pusing ya jadi manusia.. 🙂

Kalau kita bingung, maka cari penyelesaiannya dari Manual Book of Human from Our Creator Allah SWT:

  1. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum yang tidak mau merubah nasibnya sendiri ==> menjawab kebingungan paradigma kecerdasan.
  2. Allah memberikan pahala yang tidak putus untuk “Ilmu yang BERMANFAAT”. Artinya anda harus punya ilmunya dulu, jadi belajarlah sendiri-sendiri dengan baik di sekolah/kampus. Ujian adalah mekanisme untuk memberikan feedback kepada kita mengenai seberapa efektif kita menyerap ilmu. Kalau feedback berupa nilai belum bagus, maka rubahlah “proses” belajar anda. Cari yang cocok dengan gaya belajar anda. SOLUSINYA BUKAN MENYONTEK !!! Menyontek tidak memberi anda ilmu yang bermanfaat. Setelah anda punya ilmunya, maka “MANFAATKANLAH” dengan mencari teman-teman untuk “BEKERJASAMA” menerapkan ilmu yang anda pelajari agar membawa manfaat bagi masyarakat. Jadi kalau niat anda kuliah hanya untuk dapat IPK tinggi untuk cari uang, maka anda tersesat.
  3. Setelah kesulitan, ada kemudahan. Sungguh setelah kesulitan, ada kemudahan. Artinya untuk merubah nasib anda, untuk belajar ilmu yang bisa dimanfaatkan, anda akan menghadapi kesulitan. Jika anda tidak menjalani kesulitannya, atau anda tidak mau belajar, anda tidak mau menerapkan ilmu anda bersama-sama teman-teman anda, maka anda tidak akan mendapatkan kemudahan-kemudahan akibat dari usaha anda. Inilah yang disebut oleh Malcolm Gladwel sebagai sebuah DESIRABLE DIFFICULTIES. (Gladwell, 2013)

 

Maha Suci Allah, Tuhan Semesta Alam.

Salam Menuju Indonesia Merdeka

 


Leave a Reply